Puasa Ramadhan Lebih dari 30 Hari? |
Kasusnya begini... Ada seseorang pada tanggal 30 Ramadhan berada di Jerman, telah berpuasa genap 30 hari. Lantas pada hari itu juga (30 Ramadhan) dia pulang ke Indonesia. Dikiranya setelah esoknya sampai di Indonesia 'mestinya' dia akan menikmati ketupat lebaran, 1 Syawal. Tapi kenyataannya tak begitu. Mengapa demikian? Karena umumnya jatuhnya awal Ramadhan di Jerman dan Indonesia berbeda satu hari (Jerman satu hari lebih dulu ketimbang Indonesia).
Terus bagaimana jika benar terjadi demikian? Apakah kita harus berpuasa juga, walaupun sudah berpuasa genap 30 hari?
Pertama yang ingin saya sampaikan adalah bahwa jumlah hari dalam satu bulan qomariyah tidak mungkin kurang dari 29 (dua puluh sembilan) hari. Maka dalam teori fikih, tidak diperbolehkan seseorang melakukan puasa Ramadhan kurang dari 29 hari. Kalau kasus di atas dibalik, di mana ada seseorang bepergian dari Indonesia ke Jerman, maka jika Ramadhan di Jerman ternyata hanya 29 hari, berarti orang tersebut hanya melakukan puasa 28 hari saja. Kalau terjadi demikian ini, dia wajib menambah puasa satu hari setelah hari 'ied, karena bulan qomariyah selamanya tidak pernah kurang dari 29 hari.
Ketentuan kedua adalah kewajiban "menghormati waktu" (hurmaatil waqti) setempat. Misalnya, jika ada seseorang yang datang dari Jerman --telah berpuasa 30 hari di Jerman-- yang malakukan perjalanan ke Indonesia pada malam lebaran, kemudian sesampainya di Indonesia ternyata ia masih menemui orang-orang masih pada berpuasa karena hari itu masih siang hari tanggal 30 Ramadhan (menurut ketentuan Indonesia), maka ia berkewajiban melakukan imsak (menahan dari apa saja yang membatalkan puasa), walau sesungguhnya hari terakhir ini tidak dihitung sebagai bulan Ramadhan baginya, karena tidak dimungkinkannya puasa setengah hari. Dia harus "menghormati waktu", yakni menghormati ketentuan tempat Indonesia.
Sementara kalau ia sampai di Indonesia sebelum waktu Subuh (karena barangkali ia berangkat dari Jerman jam 5 pagi waktu Jerman), maka ia berkewajiban melaksanakan puasa esok harinya, karena keberadaannya di Indonesia mengharuskannya mentaati segala peraturan-peraturannya. Namun, keharusan berpuasa itu jika memang puasa yang telah ia lakukan di Jerman hanya 29 hari.
Adapun kalau telah genap 30 hari, para ulama khilaf (berselisih pendapat) dalam menentukannya: sebagian berpendapat, wajib baginya berpuasa, melihat keberadaannya di satu negara yang menetapkan hari tersebut sebagai hari terakhir Ramadhan (walau ini berarti ia harus melaksanakan puasa Ramadhan selama 31 hari). Dan sebagian yang lain tidak mewajibkan bahkan mengharamkannya, karena tidak mungkin ada bulan qomariyah 31 hari.
Tapi ini bukan berarti ia lantas bebas begitu saja dari kewajiban imsak (menahan dari apa saja yang membatalkan puasa) sebagaimana orang berpuasa, karena dalam fikih islam, "menghormati waktu" adalah hal yang amat penting. Artinya, hari itu tidak merupakan permulaan bulan Syawal, baginya. Ia tetap merupakan hari terakhir bulan Ramadhan, hanya ia tidak wajib melakukan puasa karena tidak mungkin ada 31 hari dalam satu bulan.
Menghormati waktu demikian ini, juga berlaku pada seseorang yang melakukan perjalanan pada hari terakhir bulan Ramadhan, kemudian pada hari yang sama, ia sampai di negara tetangga yang menetapkannya sebagai awal Syawwal (ied). Baginya, wajib membatalkan puasa, kemudian jika puasanya kurang dari duapuluh sembilan hari, maka ia wajib menambah satu hari setelah ied, dan jika puasanya telah mencapai 29 hari, ia tidak berkewajiban menambah lagi.